Juni, bulan untuk mempersiapkan tahun ajaran baru dan memilih sekolah. Bulan Juni merupakan bulan yang sangat berarti untuk saya dan juga anak. Kami berdua sama – sama dilahirkan di bulan ini. Bulan Juni juga merupakan bulan istimewa karena setelah empat tahun tinggal terpisah akhirnya kami bisa mendapatkan momentum untuk tinggal bersama. Bulan yang bertepatan dengan anak saya yang harus melanjutkan pendidikannya ke jenjang SMP.
Rasa tak percaya, bahagia, takut, khawatir, cemas bercampur aduk menjadi satu. Bahagia karena akhirnya saya bisa merasakan pengalaman untuk menjadi seorang Ibu secara utuh. Ibu yang bisa mengasuh anak secara penuh setelah sekian tahun terpisah karena saya dan mantan suami memutuskan untuk berpisah. Saya bisa menyiapkan kebutuhannya sehari – hari, dan juga membiayai kehidupannya. Sungguh itu adalah impian saya sejak lama.
Moment kelulusan sekolah anak adalah sebuah moment berharga sekaligus super menantang. Itu karena ada beberapa hal yang perlu saya pikirkan dan persiapkan sebelum mendaftarkan anak saya ke sekolah tujuan selanjutnya.
Selama di jenjang sekolah dasar, anak saya bersekolah di SD Negeri sesuai kecamatan tempat tinggal ayahnya, yang berbeda domisili dengan alamat saya tinggal. Itu artinya anak saya harus mencari dokumen pindah rayon bila memang ingin bersekolah di kotamadya tempat saya tinggal.
Opsi ini sempat saya pilih, karena saya ingin memilih sekolah negeri sebagai pilihan utama. Namun pada prakteknya semua tidak semudah yang saya kira.
Hal ini karena Kartu Keluarga (KK), anak saya terdaftar di KK mantan suami yang mana kabupatennya adalah kabupaten Badung. Sedangkan saya ikut KK keluarga ayah yang berdomisili di Kota Denpasar. Bila anak saya ingin bersekolah di daerah saya maka solusinya bisa dengan meminta surat pindah rayon atau pindah KK dan masuk ke KK ayah saya.
Opsi mengajukan surat pindah rayon saya tempuh. Saya pergi ke Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga di Kabupaten Badung. Jawaban yang saya dapat adalah bisa saja dikeluarkan surat, hanya saja saya perlu memastikan bahwa ada sekolah negeri di zona tempat tinggal yang bisa secara pasti menerima anak saya.
Surat pindah rayon hanya akan diberikan bila memang sudah ada sekolah negeri yang pasti bisa dan siap menerima anak saya untuk bersekolah di dalamnya.
Masalah timbul ketika sekolah negeri di zona tempat tinggal saya adalah salah satu sekolah favorit di Denpasar. Untuk masuk kesana orang rela antri hingga melakukan apapun agar tercapai. Sesuatu yang tidak ingin saya lakukan dan ajarkan ke anak saya.
Di moment ini juga saya benar – benar belajar untuk tidak memaksakan sesuatu. Kalau tidak bisa, ya sudah. Toh, bila memaksa anak saya juga belum tentu senang bersekolah di sekolah tersebut.
Tapi sebelum membatalkan pilihan tersebut, saya tanyakan dulu pada anak saya, maunya apa dan bagaimana. Intinya saya ingin tidak hanya saya saja yang merasa senang dengan perpindahan tempat tinggalnya. Dia tentu juga harus merasakan yang sama.
Anak saya menjawab bahwa dia tidak terlalu tertarik dengan pelajaran di sekolah, ia bukanlah seorang akademisi. Mungkin bila saya masih menjadi orang dengan pikiran yang belum terbuka dan belum memahami tentang luka inner child, hal yang akan saya lakukan adalah memarahi anak saya yang terang – terangan mengatakan tidak suka belajar.
Tapi saya yang memang sudah bertekad untuk menjadi pemutus mata rantai luka antar generasi. Saya memilih untuk menanyakan apa yang sebenarnya yang diinginkan olehnya. Dia lalu bercerita bahwa dia sangat menyukai dunia seni dan olahraga. Pokoknya kegiatan yang bisa membuat dia bergerak, bukan hanya duduk diam lalu mencatat.
Saya mencoba untuk menampung isi pikirannya, dan lalu saya membawanya ke psikolog spesialis tumbuh kembang anak untuk dilakukan tes stiffin sebelum memilih sekolah.
Stifin adalah singkatan dari Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling and Insting yang merupakan sebuah konsep untuk mengindentifikasi kecerdasan manusia berdasarkan sistem operasi otak yang dominan dan dapat diketahui dengan memindai sidik jari.
Menurut Psikolog yang menangani anak saya, keakuratan tes ini adalah di atas 95%. Beliau juga menyarankan saya untuk mencoba berpikir dengan pola pikir yang berbeda. Yaitu dengan memfokuskan perhatian dan energi pada bidang yang disukai oleh anak.
Dan ketika hasilnya keluar, terlihatlah bahwa motorik kasar anak saya jauh lebih berkembang daripada motorik halus. Dari hasil tes memang nilai dari Sensing anak saya yang paling tinggi, dibandingkan dengan yang lain. Jadi menurut Psikolog, anak saya termasuk orang yang lebih suka menggunakan kekuatan otot daripada otak. Lebih baik dia capek fisik daripada pikiran. Itulah pola pikir orang-orang Sensing. Kebanyakan dari mereka adalah atlit. Mereka sangat suka berolahraga.
Dari sana saya merasa punya blue print dan peta untuk anak saya mengenai kemana dia harus melangkah. Saya tanya berkali – kali tentang apa yang disukainya dan beberapa kali dia menjawab olahraga. Saya tanya lagi olahraga di bidang apa dan dia menjawab sepak bola.
Kembali lagi pada pendaftaran sekolah. Saya akhirnya memilih sekolah berdasarkan pada minat dan bakat anak. Sekolah mana yang mendukung minat dan bakat anak, maka sekolah itu yang kami tuju. Sekolah negeri jam belajarnya adalah mulai pukul 7.30 WITA sampai pukul 15.30 WITA, dan anak saya keberatan bila harus bersekolah selama itu karena dia ingin masuk club bola.
Setelah survey ke berbagai club akhirnya kami menemukan satu yang cocok dan latihannya dimulai dari pukul 16.00 WITA. Jadi solusi agar anak saya bisa ikut latihan dengan maksimal adalah dengan mencari sekolah yang rentang waktu belajarnya tidak terlalu lama. Setelah mencari – cari akhirnya pilihan kami jatuh pada sebuah sekolah swasta yang mana jam belajarnya adalah mulai pukul 07.15 WITA hingga pukul 11.50 WITA.
Kurikulumnya nasional plus, dan sekolah ini menitikberatkan pada potensi kemampuan siswa dan juga menyeimbangkan antara teori dan praktek. Akhirnya saya pun memilih sekolah swasta untuk anak saya dengan pertimbangan jam sekolah yang singkat. Ketiadaan masalah bagi guru – gurunya bila nanti anak saya berpotensi banyak absen pelajaran karena mengikuti pertandingan sepak bola. Hal tersebut justru menjadi solusi dari permasalahan KK atau surat pindah rayon.
Karena anak saya bersekolah di sekolah swasta, maka tidak masalah dari kecamatan atau kabupaten mana dia berasal. Saya justru menjadi amat sangat dimudahkan saat pendaftaran.
Hal yang perlu saya pikirkan hanya biaya sekolahnya yang tentu jauh lebih banyak ketimbang bersekolah di sekolah negeri, tapi bila memang itu untuk anak saya, maka saya yakin akan ada jalannya.
Lagipula semenjak bercerai, saya selalu menyimpan uang hasil kerja. Saya menyiapkan untuk sekolah anak sekalipun saya belum tahu apakah anak nantinya bisa tinggal bersama saya lagi atau tidak. Itulah kekuatan sebuah keyakinan. Buah dari keyakinan tersebut, anak saya menjadi bisa menempuh pendidikan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya.
Proses pendaftaran berjalan lancar. Pihak sekolah juga tidak banyak tanya dengan KK anak saya yang tidak menuliskan nama saya di dalamnya. Setelah anak saya diterima di sekolah tersebut, barulah kemudian saya ke sekolah asal untuk mengajukan pencabutan data anak di Dapodik. Ini karena secara otomatis data anak – anak yang bersekolah di SD Negeri tersebut, langsung diteruskan ke SMP negeri yang ada di zona wilayah tersebut.
Saya juga melegalisir surat – surat penting anak seperti NISN dan Ijazah karena saya yakin akan penting di kemudian hari. Juga surat – surat penting seperti akta lahir dan KIA saya minta aslinya kepada pihak keluarga mantan suami. Hanya KK saja yang tidak saya minta aslinya, hanya hanya mendapatkan fotocopy berwarna yang dilaminating.
Saya bersyukur semua prosesnya berjalan mudah. Mungkin memang tidak seperti yang saya inginkan, tapi ternyata memang benar – benar yang anak saya butuhkan. Saya pun menyadari bahwa pada babak cerita ini, semua adalah tentang anak saya, bukan saya. Jadi saya tidak diperkenankan untuk memaksakan kehendak :).
Pengalaman mendaftar sekolah ini tidak hanya menjadi moment berkumpulnya saya dengan anak kembali. Namun juga menjadi moment pembelajaran tersendiri bagi saya tentang pentingnya seorang individu mendapat dukungan dan cinta yang besar untuk tumbuh dan berkembang.
Juga menjadi moment pendewasaan untuk saya bahwa setelah memutuskan untuk menjadi seorang Ibu, maka hidup saya bukanlah hanya tentang saya saja. Dalam hidup saya sudah ada lagi individu lain yang butuh bernaung dibawahnya. Individu itu adalah anak saya tercinta.
Kini tak terasa satu tahun sudah anak saya menempuh jenjang pendidikan SMP, dan banyak sudah prestasi yang ia raih di bidang olahraga berkat bantuan sekolah dan juga club tempat ia bernaung.
Saya merasa bersyukur dengan pengalaman ini, semoga menjadi bekal untuk menjalani babak kehidupan selanjutnya. Semoga pengalaman ini bisa membantu Mamos member Komunitas Single Moms Indonesia yang mengalami kejadian serupa. ya.
Editor & Ilustrasi: Ans
Single Mom dengan 1 anak laki – laki yang sedang beranjak remaja. Menyukai topik seputaran self healing. Sangat senang bisa bergabung dalam komunitas Single Moms Indonesia