Rejeki Dari Tuhan, Bukan Dari Mantan!

Halo, Mamos!

Tidak terasa kita telah memasuki penghujunh bulan pertama di tahun 2023.

Banyak hal yang sudah mulai berjalan, termasuk rejeki, dan memberi kita lembar-lembar kisah baru untuk dibukukan dalam perjalanan 365 hari kita di tahun ini.

Beberapa hal yang saya rasakan menjadi persoalan penting selama 11 tahun perjalanan menjadi Single Moms adalah dari segi mental, emosional, spiritual dan FINANSIAL.

Ya, segi finansial menjadi momok bagi sebagian besar Single Mom. Kesimpulan itu saya ambil setelah bergabung di komunitas luar biasa bernama Single Moms Indonesia dan bertemu Ibu Tunggal lain yang menemui permasalahan yang sama, soal finansial.

Bagaimana tidak ? Setelah menjadi Single Mom, nafkah untuk menunjang kehidupan rumah tangga menjadi hanya bersumber dari satu pihak, yaitu kita.

Rejeki dari tuhan bukan dari mantan

Single Mom means Single Income.

Meski ada juga beberapa teman Single Mom yang memang sudah terbiasa menafkahi diri beserta anak-anaknya seorang diri, bahkan ketika masih memiliki suami. Hal ini merupakan sebuah hal yang terus-menerus ingin saya capai sebagai sebuah resolusi. Bagaimana untuk bertahan dengan single income ini. Hingga akhirnya saya belajar untuk memanfaatkan dampak yang saya dapatkan ketika memperbaiki dan memulihkan aspek hidup yang lain selain finansial ; yaitu aspek mental, emosional dan spiritual

Mental

Apapun bentuk kehidupan kita, sebagai seorang individu, kita sebaiknya memiliki mental pejuang yang tangguh.

Entah kita masih menikah, sedang dalam proses perceraian, sudah bercerai, ditinggal berpulang oleh pasangan atau bahkan ketika kita tidak pernah menikah sama sekali, hidup ini akan selalu punya alasan untuk membuat kita terus berjuang. Kekuatan mental didapat dari kesadaran diri. Sadar bahwa kita sebenarnya punya kekuatan dalam diri yang memampukan kita untuk bertahan dan berjuang menghadapi hidup.

Ketika awal menyandang status sebagai single mom, kehidupan saya pun tak mudah. Saya tidak berpenghasilan, karena kondisi saya waktu itu adalah masih kuliah. Mau bergantung pada orang tua pun, bayarannya adalah kata-kata kekecewaan dari orang tua saya. Meski hal itu tidak saya salahkan sepenuhnya, namun dari titik itu saya berjuang untuk bangkit.

Saya membangun mental pejuang (warrior) dalam diri saya, yang namanya pejuang tidak akan pernah mengeluh, menyalahkan orang lain atau menyerah.

Saya berusaha untuk menyelesaikan studi saya, menyambi bekerja di day care, menjadi penulis lepas untuk blog teman, menjadi tukang kemas produk tas kulit, berjualan nasi, berjualan aksesoris, berjualan baju, menjadi guru les calistung untuk anak balita dengan kondisi saya yang  terluka dan menderita trauma pasca perceraian dan kondisi yang terpisah dengan anak, namun itulah pejuang!

Meski berdarah – darah, namun saya tetap maju.
Saya memilih untuk membentuk mental sebagai pejuang terlebih dahulu.
Saya tidak memilih untuk merengek dinafkahi oleh mantan suami ataupun orang tua saya, sekalipun mungkin saya berhak untuk itu.

Namun, di masa sulit saya tidak menitikberatkan fokus pikiran saya pada hak, karena yang namanya hak, cepat atau lambat, akan mendarat di pangkuan saya. Lebih baik saya semangat berkarya dan berjuang untuk diri saya, lepas dari apapun situasinya. Makin susah, makin berat, makin saya akan berjuang dengan lebih keras.

Di tahap ini, saya pernah berhutang. Lagi – lagi, saya membentuk mental saya sebagai pejuang, bahwa yang namanya berhutang itu tidak masalah, yang penting kita ada niatan dan tanggung jawab untuk membayar. Dengan mental seperti itu, jalan selalu saja terbuka untuk saya bahkan di saat sulit pandemi hingga detik ini, saya selalu merasa bahwa semesta berada di pihak saya ^^.

Emosional

Setelah mental didesain sebagai pejuang, saya imbangi dengan menjaga dan mengatur emosi saya.

Emosi yang buruk akan mengantarkan kita pada kondisi hidup yang juga buruk. Karena emosi ini bagaikan 2 mata pisau. Bisa bermanfaat, namun jika tidak dikendalikan dengan tepat, juga bisa berbahaya. Overthinking, cemas berlebih dan memiliki mental korban (victim mentality) adalah salah satu wujud kegagalan dalam mengelola emosi. Ketika sedang dalam keadaan terhimpit dan terjepit, pikiran kita secara otomatis akan membentuk sebuah ilusi. Ilusi itulah kemudian yang entah mengapa begitu kita yakin.

Contoh : Sudah mencoba jualan baju namun hingga hari ke 15 belum ada yang beli. Jangan – jangan nanti sampai akhir bulan tidak akan dapat jualan, atau sampai 3 bulan ke depan tidak dapat penghasilan, hingga akhir tahun tidak akan ada uang sama sekali.

Itulah ilusi, kenapa saya sebut ilusi karena hal itu BELUM TENTU TERJADI.

Memiliki managemen emosi yang baik dipadukan dengan desain mental yang juga baik ini penting. Ketika menemui permasalahan yang sama seperti contoh di atas, maka yang dilakukan adalah: Di hari ke 15, dagangan belum juga laku, berarti ada yang perlu dievaluasi.

Emosi yang terkendali akan membuat logika kita lebih ‘jalan’. Maka kita akan mampu memikirkan ide – ide kreatif nan brilian untuk menemukan sumber rejeki. Mental dan emosi yang terarah, akan membuat kita menyadari adanya sebuah kekuatan dalam diri. Alih – alih panik, kita tetap tenang menghadapi situasi dengan berani karena sudah paham bahwa kepanikan hanya akan membuat kabut di pikiran kita makin tebal.

Bayangkan saja, jika kabutnya tebal, bagaimana kita akan melihat dengan jelas ?

Spiritual

Setelah kita memahami perlunya manajemen mental dan emosional yang baik, hal terakhir yang saya lakukan adalah mempertebal spiritual saya.

Memahami bahwa segala yang terjadi adalah dengan maksud dan tujuan agar saya belajar. Belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Satu hal yang hingga kini saya yakini adalah, bahwa Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan umatnya. Tuhan memberi saya cobaan finansial di awal kehidupan saya sebagai single mom, adalah agar saya bisa memahami pentingnya saya belajar mendesain mental dan menjaga emosi, agar hidup saya tetap dapat berlangsung dengan cakap.

Saya juga selalu menjaga agar segalanya seimbang, antara saya dengan alam semesta. Ketika saya memberi, saya juga menerima. Ketika saya sudah berjuang mati – matian dan melakukan yang terbaik yang saya bisa, maka disitulah saya sedang melakukan sebuah ‘pemberian’ , pada diri dan keberlangsungan hidup saya. Kemudian, langkah selanjutnya saya tinggal menunggu dan ‘menerima’ apapun hasil yang diberikan oleh semesta. Yang jelas, bila saya menanam jagung, pasti akan tumbuh jagung.

Ketika saya sudah melakukan riset pasar yang tepat, melakukan usaha maksimal dalam mempromosikan dagangan saya atau mencari pekerjaan yang cocok dengan kemampuan saya, maka selanjutnya saya hanya tinggal berserah dan berpasrah.

Hasil dan Rejeki tidak akan pernah mengkhianati usaha.

Apa yang kita lakukan dengan mental dan emosi yang tenang, maka akan membuat kita memanen hal yang sama, yang juga mengantarkan ketenangan pada hidup kita. Namun jika kita memulai segala sesuatu dengan panik, resah dan gelisah, maka kita juga akan menarik lebih banyak lagi hal-hal yang mengantarkan kita pada perasaan panik, resah dan gelisah.

Itulah kekuatan yakin dan percaya. Bahwa sesulit apapun kehidupan kita nampaknya, namun bila kita mau menggali lagi, maka yang terlihat adalah samudera kebijaksanaan luas yang siap untuk kita petik pelajaran dan hikmahnya.

Dan hasilnya terlihat setelah 11 tahun berproses melakukan segala hal yang saya jabarkan di atas. Saya bekerja di salah satu perusahaan permodalan asing. Berkat kegigihan saya untuk menyelesaikan studi S1 Sastra Jepang saya di tengah kemelut rumah tangga. Uang wisudanya pun saya pinjam teman sebesar 500,000 Rupiah! Sesuatu yang akan terus saya ingat hingga akhir hayat.

Kemudian selepas bekerja, untuk mengisi kekosongan waktu karena saya tidak tinggal satu atap bersama anak saya, saya belajar bagaimana menulis blog yang baik. Sebuah hal yang akhirnya mengantarkan saya menjadi salah satu blog contributor di SMI.

Semua ada hikmah dan pelajarannya. Bahkan saat pandemi pun, kemampuan menulis saya membuat saya bisa mendapatkan pekerjaan tambahan saat gaji di pekerjaan utama saya dipotong.

Ketika kita tenang, semesta juga akan memberi kita hidup yang tak kalah menenangkan sebagai balasannya.

Saya harap kisah saya ini dapat menginspirasi Ibu Tunggal di manapun berada., Agar tidak menyerah menghadapi situasi dan keadaan hidup. Hidup ini adalah tentang bagaimana kita menentukan fokus yang ingin kita beri perhatian dan energi. Apakah fokus pada hal yang membangkitkan daya juang, atau justru memboroskan energi pada hal – hal yang menurunkan bahkan menghilangkan daya juang ?

Ketika diberi takdir sebagai Single Mom, maka kita tinggal jalani saja dengan gagah berani dengan berfokus pada keyakinan, bahwa rejeki kita datangnya dari Tuhan, bukan dari mantan!

See you at the top, Dear Mamos!
Salam sayang

===========================================================================================

TENTANG PENULIS
SAFITRI SARASWATI

Tinggal di Bali dan menjadi Single Mom sejak tahun 2012 karena perceraian. Menulis microblog tentang self healing di akun @safitri.saraswati dan tentang Single Mom Life di akun @Ibulajangpetualang Suka traveling, kuliner dan membaca

Spread the love

2 thoughts on “Rejeki Dari Tuhan, Bukan Dari Mantan!

  1. Pingback: Memilih Sekolah Anak Bagi Single Mom - Single Moms Indonesia

  2. Pingback: Melibatkan Keinginan Anak Untuk Memilih Sekolah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *