Memilih sekolah anak bukan hal yang mudah. Terutama sebagai seorang single mom. Ada banyak pertimbangan di baliknya. Banyak yang terdiam ketika saya menyebutkan anak saya, Dudu, sekolah di international school. Kenapa memilih sekolah internasional yang terkenal dengan harganya yang mahal?
Sejujurnya, masuknya anak ke international school bukan karena saya mau, tapi saya perlu. Memang sedikit sulit bagi single mom yang kerap memiliki keterbatasan support dan financial. Tapi saya percaya kalau ada kemauan pasti ada jalan. Jadi, sebelum memutuskan memilih sekolah untuk anak, saya bertanya pada diri sendiri, lalu melihat kebutuhan anak ke depannya. Habis itu kalau rencana sudah ada, ya dicari uangnya.
Perlu untuk apa sih? Ada 3 pertanyaan yang saya tanyakan ke diri sendiri sebelum akhirnya memilih sekolah internasional untuk anak saya.
Sebelum memilih sekolah anak, pikirkan anak mau kuliah di mana.
Lah, tidak terbalik? Anak baru mau masuk SD kok malah mencari universitas buat kuliah? Well, saya sudah merencanakan Dudu mau kuliah di mana sejak dia masuk TK. Terinspirasi Papa saya yang membuka tabungan biaya pendidikan anak ketika anaknya lahir. Soalnya sejak saya dan adik-adik saya lahir, Papa sudah memutuskan bahwa anak-anaknya harus kuliah di luar negeri. Terdengar diktator memang. Tapi karena inilah, Papa bisa mengalokasikan dana pendidikan untuk ketiga anaknya. So, keuangan keluarga pun dapat terencana dengan baik.
Memikirkan mau kuliah di mana menjadi penting dalam memilih sekolah anak, karena berhubungan dengan ujian jenis apa yang dibutuhkan untuk masuk ke universitas pilihan. Setidaknya kita bisa merencanakan apakah anak harus mengambil UN, harus punya STTB atau justru harus punya nilai A level atau O level untuk mendaftar kuliah.
Sekolah anak saya adalah internasional dengan kurikulum Singapore, dan kemudian berubah jadi Cambridge. Jadi jika kuliah di sekolah yang membutuhkan UN, anak saya harus mengikuti ujian terpisah, menumpang di sekolah nasional terdekat. Pihak sekolah hanya memfasilitasi pendaftaran dan pelajaran tambahan untuk mengejar materi yang akan diujikan di UN tersebut.
Saya pernah ditanya, kenapa anak saya tidak ikut UN? “Dudu mau kuliah di luar negeri jadi tidak butuh UN.” Orang tua murid yang bertanya jadi terdiam. So, saya balik bertanya.
“Memangnya anak bapak mau kuliah di mana?”
“Belum tahu. Jadi tidak ada salahnya jaga-jaga.”
Saya tidak bisa membayangkan anak saya harus belajar materi SD kurikulum nasional dalam Bahasa Indonesia secara intensif selama 1-2 bulan untuk mengikuti UN. Setelah 6 tahun terakhir belajar menggunakan Bahasa Inggris setiap harinya.
“Du, kamu tahu jajaran genjang?”
“Apa itu, Ma?”
Nah kan!
Pandanganmu tentang pendidikan mempengaruhi bagaimana kamu memilih sekolah untuk anak.
Kurikulum sekolah internasional tentunya berbeda dengan sekolah negeri atau swasta. Masa SD hingga SMA, saya habiskan di sekolah swasta nasional berbasis agama. Jadi saya belajar PPKN, Agama, Sejarah, Muatan Lokal dan beragam pelajaran lainnya. Begitu anak saya masuk sekolah internasional, subject yang diajarkan fokus ke matematika, bahasa, science dan social science. Anak saya lancar berbahasa Inggris dan mendapatkan pelajaran bahasa Mandarin. Meskipun sekolahnya memiliki basis agama, pelajaran dan kegiatannya lebih mirip CSR perusahaan. Tidak ada yang namanya belajar UUD 45 dan anak saya juga tidak hafal Pancasila.
Mengenalkan anak tentang Indonesia, seperti siapa presidennya sekarang, atau budi pekerti pada umumnya, jadi tanggung jawab saya sebagai orang tuanya di rumah. Begitu juga dengan agama dan ritual-ritualnya.
Ini yang membuat saya merasa wajib mempertanyakan pandangan saya tentang pendidikan. Apakah anak harus belajar semua seperti saya dulu? Atau sebenarnya cukup hanya beberapa mata pelajaran yang akan relevan dengan jurusan kuliahnya kelak? Sisanya bisa dipelajari di kehidupan sehari-hari atau lewat media lain seperti game atau film. Apakah anak harus memiliki nilai bagus, harus ranking pertama?
Di sekolah anak saya tidak ada ranking, dan anak pasti naik kelas. Jadi saya tidak perlu khawatir anaknya harus mengulang tahun ajaran, dan saya harus membayar uang sekolah ekstra satu tahun. Saya juga bukan tipe yang memaksa anak jadi juara dan berprestasi. Tapi saya mengajarkan bahwa nilai yang buruk bisa menyebabkan sulitnya diterima di universitas idaman. Konsekuensinya tidak langsung, tapi berpengaruh terhadap masa depan si anak. Dengan jumlah mata pelajaran yang lebih sedikit, dan hanya yang relevan untuk jurusan kuliah, tentunya belajar jadi lebih mudah dilakukan. Jadi tidak ada alasan untuk gagal.
Karena pandangan saya tentang pendidikan seperti ini, saya memutuskan bahwa sekolah internasional lebih cocok untuk anak saya.
Seperti apa proses pendaftaran dan penerimaan murid di sekolahnya?
Sebagai single mom, masalah dokumentasi dan birokrasi saat mendaftar sekolah sering menjadi kendala tersendiri. Saya yang single mom by choice dengan anak yang memiliki akta lahir luar negeri yang ada nama bapaknya, cukup mengalami kendala karena tidak bisa menunjukkan surat nikah. Sementara status saya single dan kartu keluarga masih ikut dengan orang tua.
Saya memilih sekolah Internasional yang sekarang karena pendaftarannya pada saat itu, relatif mudah. Tidak ditanya apa-apa, tidak diributkan tentang surat nikah yang tidak ada, maupun kenapa saya tertulis masih single di KTP dan KK. Hal penting, Si Anak jelas identitasnya dan lolos tes penerimaan murid baru. Mereka juga mengizinkan anak saya untuk trial terlebih dahulu.
Jadi setelah melihat ke berbagai macam sekolah, termasuk sekolah-sekolah nasional dan nasional plus, sekolah inilah yang paling mudah, welcome dan helpful dalam proses pendaftarannya. Sekolahnya juga tidak kepo, tidak judgemental terhadap status saya, dan sangat pengertian bahwa saya single mom. Misalnya kalau harus menggeser jam terima rapor karena saya ibu bekerja. Lalu para gurunya juga sangat terbuka untuk extra lessons dan remedial. Jadi bayar uang sekolahnya juga merasa worth it.
Begitu sudah memilih sekolah untuk anak, langkah selanjutnya adalah menabung untuk biaya dan mempersiapkan hal-hal lainnya.
Berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak di sekolah internasional? Honestly, Inilah yang membuat banyak orang terdiam, karena sekolah internasional terkenal mahal. Mengutip dari beberapa sumber, orang tua setidaknya harus menyediakan dana minimal 100 juta setahun hanya untuk uang sekolah. Uang SPP yang harus dibayarkan adalah sekitar 6 hingga 9 juta sebulan. Ini belum termasuk biaya-biaya lainnya seperti seragam atau karyawisata, yang tentunya juga lebih mahal.
Disclaimer dulu: jika memang financial Anda tidak mencukupi, jangan memaksakan diri masuk sekolah internasional. Lakukan segala sesuatu sesuai kemampuan diri.
Bagaimana saya membayar uang sekolah? Sama seperti Papa, saya menabung lebih awal. Anak saya masuk TK rumahan biasa yang uang sekolahnya murah. Saya pindah kerja dengan gaji yang lebih besar menjelang anak masuk SD agar dapat mencukupi semuanya. Lalu uang sekolah saya bayar setahun sekali di awal tahun sehingga mendapatkan skema diskon yang lumayan. Setiap bulan, sejak saya mulai bekerja, saya mengalokasikan dana dari gaji untuk tabungan uang sekolah. Lalu uangnya saya masukkan ke deposito dan hanya dicairkan ketika waktunya membayar uang sekolah dan biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan kebutuhan sekolah.
Itu baru biaya. Hal lainnya apa saja?
Masuk ke sekolah internasional berarti siap bersaing dengan gaya hidup murid-murid lainnya yang di atas rata-rata. Siap memberikan pengertian bahwa kita tidak seperti mereka dan aturan keluarga kita sedikit berbeda. Mengajarkan toleransi, empati dan melihat dari sudut pandang berbeda. Misalnya, ketika karya wisata ke Jogja naik pesawat terbang. Anak saya yang terbiasa mudik ke Jawa naik mobil atau kereta, bingung ketika pergi naik pesawat bersama teman-temannya. Atau ketika seorang teman yang tabletnya jatuh dan langsung mendapatkan gantinya. Sementara anak saya harus menabung untuk membeli tabletnya sendiri.
Memilih sekolah anak memang bukan perkara mudah. Apalagi sebagai seorang single mom, saya harus memutuskan semuanya sendiri tanpa ada pasangan yang bisa diajak diskusi. Karena itulah saya mencari sekolah yang bisa menjadi support untuk anak saya, baik dalam bentuk penerimaan murid yang tidak ribet, skema pembayaran yang hemat dan kurikulum yang mendukung anak saya belajar mandiri tanpa saya temani.
Semoga pengalaman saya bisa membantu dan menjadi bahan pertimbangan Mamos yang sedang memilih sekolah untuk putra putrinya.
Ibu tunggal satu anak berusia 16 tahun. Senang menulis, ngeblog dan jalan-jalan sama anak di waktu senggang lalu posting dengan hastag #datewithdudu. Bergabung dengan SMI di bagian Learning & Development. Follow di instagram: @datewithdudu