Sebagai single mom, salah satu hal penting yang harus kita miliki adalah mental yang sehat. Bukan hanya single mom sebetulnya, tapi setiap orang perlu memiliki mental yang sehat. Mungkin itulah alasannya kenapa ada Hari Kesehatan Mental Sedunia. “Mental health is a universal human right”, menjadi tema yang diangkat menurut situs World Health Organization.
Kesehatan mental merupakan hak asasi setiap individu, siapa pun dan di mana pun ia berada. Setahun sekali kita diingatkan atau saling mengingatkan untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan bertindak secara nyata dalam upaya menjaga kesehatan mental kita.
Mental, definisi menurut KBBI ialah bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Karena tak kasat mata, seringkali kita mengabaikan kesehatan mental kita walau telah muncul satu atau lebih gejalanya. Minimnya pengetahuan tentang gejala dan penyebab gangguan kesehatan mental, kurangnya kesadaran mengenai betapa esensialnya kesehatan mental dalam menjalani keseharian, pun stigma dan makna peyoratif dari istilah gangguan kesehatan mental menjadi beberapa penyebab seseorang mengabaikan kesehatan mentalnya.
Indonesia memiliki budaya malu yang cukup tebal untuk berbagai hal, salah satunya malu meminta tolong. Entah sejak kapan dan apa penyebabnya. Saat kita merasa butuh pertolongan, alih-alih langsung menyampaikan kita cenderung menahan diri karena malu pada pendapat orang. Padahal manusia sejatinya adalah makhluk sosial yang memang saling membutuhkan satu sama lain.
Apakah hal ini hanya terjadi di kota besar saja atau merata di mana-mana, saya belum melakukan pengamatan atau penelitian lebih jauh lagi.
Bukan tanpa alasan konstruksi sosial ini terbentuk, budaya bergunjing bisa jadi salah satu alasan seseorang enggan meminta tolong. Lebih lagi dengan status sebagai single mom.
Saat seseorang meminta bantuan, biasanya ia akan mengadu pada orang terdekat atau yang paling dipercaya.
Penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa saat ada seseorang yang meminta pertolongan, yang harus kita lakukan adalah menjaga kepercayaan orang tersebut, mengingatkan bahwa ia tidak sendiri dan menemaninya selama proses penyembuhan. Bagaimana kalau saya tidak tahu cara membantunya? Tak perlu khawatir, karena kini sudah tersedia cukup banyak tenaga profesional dengan tarif yang beragam yang dapat membantu mereka yang butuh pertolongan.
Saya pribadi baru setahun terakhir ini berani meminta tolong, mengakui dengan berat hati bahwa saya tidak sanggup lagi menahan gejala yang beragam dan konsisten datang. Malu serasa membuka aib, begitu yang saya rasakan saat bercerita untuk kali pertama. Sejujurnya masih terasa sama sampai saat saya menuliskan ini. Namun saya berkeyakinan akan menjadi bisa karena biasa.
Saya ingin melatih kemampuan saya untuk meminta tolong dan menjelaskan secara runtut dan jelas segala apa yang saya rasakan dan alami, karena ternyata saya belum punya kemampuan tersebut. Padahal dengan kemampuan ini, niscaya akan lebih mudah bagi pihak lain untuk memahami dan membantu. Alih-alih berfokus pada rasa malu, saya memutuskan untuk lebih berani bercerita dan berani merasa, melihat dan menelaah segala rasa.
Di tahun ini juga rasa ragu-ragu yang saya rasakan saat meminta pertolongan dipatahkan oleh beberapa orang yang kini saya syukuri ada di hidup saya. Tanpa saya sadar saya selalu berkata sorry saat meminta pertolongan. Hingga seorang sahabat berkata, “Don’t say sorry for trying your best to be a good mom.” Tertegun, saya lalu mulai menghindari kata itu saat bercerita dan saat meminta tolong. Iya, saya sedang berusaha menolong diri sendiri saat sudah tidak mampu lagi.
Saya ingin menjadi sehat agar dapat berperan seoptimal mungkin sebagai seorang ibu, terlebih sebagai single mom yang tidak memiliki kesempatan banyak untuk berjeda.
Tidak perlu meminta maaf karena saya manusia, penuh keterbatasan dan butuh manusia lainnya untuk kembali menapak dan menjadi sehat. Mari sehatkan mental kita sebagai single mom. Meminta tolong sama sekali bukan kelemahan. Untuk tetap melanjutkan hidup, kita perlu sehat raga pun jiwa.
Editor dan Ilustrator: Ans
=====================================
TENTANG PENULIS:
Bionarasi:
Nama: Dega
IG: @degayanti
Penulis adalah seorang Ibu Tunggal yang berprofesi sebagai guru bahasa Prancis di sebuah sekolah swasta di Jakarta. Kesehariannya diisi dengan berkegiatan bersama putrinya. Sangat menikmati membaca, menonton dan menulis. Harapannya agar apapun perannya di dunia, dapat memberi sepercik manfaat bagi sesama.
Contributor adalah anggota SMI yang menyumbangkan tulisannya untuk berbagi di blog.
Thanx for sharing ❤️ semoga kita bisa makin perduli terhadap kesehatan mental kita, dan kesehatan mental orang2 disekitar kita🤗