Apakah Homeschooling Cocok Untuk Anak Single Moms?

Apakah Mom sering mendengar istilah ‘Homeschooling’ (atau yang sering disingkat dengan HS) atau bahkan sudah tau sedikit banyak tentang metode pendidikan ini? Tertarik melakukan tapi belum sepenuhnya yakin? Nah, yuk! Kita bahas bersama.

Marsha Ransom, penulis buku “The Complete Idiot’s Guide to Homeschooling”, menyebutkan bahwa Homeschooling adalah istilah generik yang menggambarkan keluarga-keluarga yang memilih mendidik anaknya di rumah. Model dan ide belajar dalam kurikulum homeschooling sangat beragam. Tidak selalu serupa dengan model yang dikenalkan oleh sekolah konvensional. Cara belajarnya bisa tergantung nilai dalam keluarga. Potensi anak juga dimanfaatkan semaksimal mungkin. Menu belajarnya pun disesuaikan dengan kondisi dan minat anak.

Anak dan orang tua akan menyesuaikan akan menjalankan model dan ide belajar seperti apa. Sebagai contoh, di keluarga yang gemar membaca, proses belajar akan banyak mengandalkan materi dan media dari dunia buku. Keluarga yang menyukai sport bisa belajar dari pendekatan kegiatan olahraga yang disukai, misalnya berlari, berlatih naik sepeda, diving. Keluarga doyan traveling ya proses belajarnya ketika melakukan traveling itu sendiri.

Anak adalah subyek pendidikan. Karenanya anak menjadi alat ukur/uji efektifitas sebuah kurikulum, metode, materi ajar, dan pendukungnya. Anak tidak dipaksa mengikuti sebuah kurikulum atau metode tertentu. Sebaliknya, kurikulum dan metode harus menjadi alat untuk mengembangkan potensi anak.

 

Apakah Homeschooling Cocok Untuk Anak Single Moms

Kesalahpahaman Terhadap Homeschooling.

Kendatipun istilah Homeschooling sudah cukup familiar, tapi masih saja ada kesalahpahaman dalam mengartikannya. Berikut contoh kesalahpahaman yang sering muncul tentang Homeschooling:

1.Daftar ke mana ya kalau mau Homeschooling?

Sebagai model pendidikan berbasis keluarga yang non-institusional, Homeschooling bukan sebuah lembaga. Tidak ada referensi manapun yang menyebutkan HS itu adalah mendaftarkan dalam sebuah lembaga tertentu. Sebutan ‘homeschooling’ itu merekat pada keluarga yang menjalaninya, bukan pada sebuah lembaga.

Jika ada lembaga yang menyebutkan diri sebagai Homeschooling, maka sebetulnya lembaga tersebut tetap disebut sekolah, tapi sifatnya flexischool. Murid-muridnya mengikuti paket dan program tertentu rancangan dari lembaga. Beda halnya dengan PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Mengajar) sebagai salah satu lembaga pendidikan non-formal di bawah naungan dinas pendidikan. PKBM menjadi wadah bagi kegiatan masyarakat untuk lebih meningkatkan potensi diri dan keterampilan melalui cakupan kegiatan seperti Paket Kejar, PAUD dan Taman Bacaan Masyarakat.

2. Orang Tua dianggap pintar untuk mengajarkan semua mata pelajaran.

Homeschooling bukanlah pengganti sekolah, dengan gambaran anak belajar di rumah, memanggil guru privat, belajar mata pelajaran yang sama dengan sekolah pada umumnya. Anak-anak homeschooling bisa belajar apa saja, di mana saja, dari siapa saja. Online maupun offline. Bukan hanya di rumah sendiri, kadang mereka belajar di taman, di perpustakaan, di kampus sebuah universitas, di kafe, dan di rumah keluarga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan homeschooling.

Begitu juga dengan guru-gurunya. Biasanya yang mengajar adalah tutor-tutor yang ahli di bidangnya masing-masing, atau orang tua yang berbagi peran mengajarkan mata pelajaran yang diminati oleh anak. Hasilnya bisa lebih baik, bisa juga lebih buruk. Semua tergantung kapasitas dan kreatifitas orang tua untuk menyusun strategi serta proses menjalankan kegiatan homeschooling. Posisi orang tua lebih pada mengajarkan ketrampilan belajar online, ketrampilan bersosialisasi, menyelesaikan masalah. Jadi, egiatan homeschooling bukan memindahkan sekolah ke rumah.

3. Anak Homeschooling dianggap berkebutuhan khusus atau punya prestasi spesial.

Semua anak adalah istimewa dan semua anak manapun bisa memilih melakukan homeschooling. Tidak ada kriteria tertentu anak mana yang lebih cocok untuk menjalani homeschooling, karena HS itu adalah opsi. Maka setiap opsi akan ada konsekuensinya. Infrastruktur yang berbeda akan menghasilkan proses dan output yang juga berbeda. Tidak ada sistem yang sempurna, semua ada kekuatan dan kelemahan.

Hal paling penting mengenai tujuan homeschooling adalah tidak ada standar harus belajar apa. Pendekatan awalnya adalah melalui belajar Life Skill atau melalui minat dan bakat yang dimiliki ayah-ibunya. Homeschooling membuka kesempatan pada anak untuk belajar apa saja, serta menghasilkan karya dan produk. Untuk memantau perkembangan pembelajaran anak, setiap skill yang dipelajari beserta kemajuan yang dialami dapat didokumentasikan dalam sebuah portfolio.

Bagaimana dengan legalitasnya?

Di Indonesia, secara prinsip, Homeschooling ini legal. Kebijakan mengenai pendidikan di Indonesia diatur dalam UU no. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Di sana disebutkan mengenai keberadaan 3 (tiga) jalur pendidikan yang diakui pemerintah, yaitu: jalur pendidikan formal (sekolah), non-formal (kursus, pendidikan kesetaraan) dan informal (pendidikan oleh keluarga dan lingkungan).

Walaupun UU Sisdiknas tidak menyebutkan secara khusus istilah homeschooling atau sekolah rumah, substansinya adalah pendidikan informal. Ketentuan mengenai pendidikan informal diatur dalam pasal 27:

(1) Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.

(2) Hasil pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.

Anak-anak Homeschooling mendapatkan ijazah dengan cara ikut ujian kesetaraan yang diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional, terdiri atas tiga jenjang yaitu Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).

Bagaimana caranya mendapatkan ijazah? Daftarkan anak di PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) dulu karena badan inilah yang berhak menyelenggarakan Ujian Paket. Pendaftaran sebaiknya tidak dilakukan secara mendadak karena ada proses mutasi dari sekolah ke PKBM. Proses mutasi harus dilakukan sejak anak tidak bersekolah lagi, tidak bisa dilakukan menjelang ujian Paket.

Bermodal ijazah Paket C, seorang anak HS bisa melanjutkan ke Perguruan Tinggi manapun yang diinginkannya. Sudah banyak anak-anak homeschooling yang mengikuti ujian Paket C dan kemudian melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi, baik negeri maupun swasta.

Pilih Homeschooling apa Sekolah ya?

Sebelum menjawab, kita lihat dulu perbedaan dan persamaan antara homeschooling dan Sekolah. Baik sekolah ataupun homeschooling sama-sama merupakan alat (tools) untuk mencapai tujuan pendidikan. Sama-sama untuk kepentingan anak yang bertujuan meraih kebaikan bagi masa depan mereka. Boleh dibilang keduanya sama-sama merupakan pelayan untuk kepentingan anak.

Keduanya sama-sama legal dan dilindungi keberadaannya oleh Undang-undang dan aturan hukum di Indonesia.

Perbedaan yang paling terlihat adalah sekolah formal memiliki sistem paket jadi, sentralisasi, ada nilai tolak ukur dan standar tertentu untuk naik kelas, lulus sekolah. Peran pengajar di sekolah ada pada guru. Orang tua tentu tetap mendampingi, namun dengan porsi yang lebih kecil.

Sementara pada sistem homeschooling, orang tua dituntut kreatif berperan sebagai guru memikirkan materi dan strategi belajar untuk anaknya. Bagaimana mengisi waktu luang anak-anak kita adalah hal paling mendasar. Sehingga, apa yang ada dan terdekat lah yang dijadikan media belajar. Ada nilai fleksibilitas dalam menjalankan homeschooling, itulah mengapa homeschooling tidak memiliki model standar.

Bisakah seorang Single Moms memilih Homeschooling  untuk anak-anaknya?

Mengingat proses menjalani homeschooling adalah berbasis keluarga, apakah mungkin bagi orangtua tunggal untuk memilih homeschooling buat anaknya? Sangat mungkin ya, Moms. Kondisi itu sudah dijalani oleh Mom Ovie, panggilan akrab dari Dwi Wirastianti Novita Sari, salah satu member Komunitas Single Moms Indonesia dari Jawa Timur.

Mom Ovie sudah mulai menjadi praktisi homeschooling sejak dua tahun terakhir, tepatnya sejak putranya Fathan berusia 7 tahun. Saat itu Mom Ovie merasa pembelajaran jarak jauh di masa pandemi terasa tidak efektif. Apalagi Fathan ini tipikal anak yang gaya belajar dan kecerdasannya kinestetik, yaitu mengekspresikan ide melalui gerak tubuh.

Menjadi Single Mom sejak almarhum suaminya meninggal tahun 2019, Mom Ovie yang sehari-harinya sibuk sebagai wiraswasta ini, mengaku kalau urusan manajemen waktu dan pengotrolan emosi menjadi hal yang paling challenging dalam menjalani homeschooling. Tapi beliau menyiasati dengan menggunakan media belajar online, ketika energi sedang menurun saat membersamai anak.

Untuk Fathan yang butuh stimulasi fisik, maka dia kerap dilibatkan dengan memperbanyak waktu olahraga, bermain dan jalan-jalan sebagai bagian dari strategi pembelajaran sekaligus mengurangi level stress anak. Pilihan menulis jurnal juga menjadi salah satu opsi sebagai media curhat. Hal ini juga berfungsi sebagai alat kontrol aktifitas kesehariannya bersama Fathan.

Bersedia untuk terus belajar dan bertumbuh dalam mengawal anak menjalani proses homeschooling, adalah salah satu tips dari Mom Ovie buat para Moms yang berniat mecoba homeschooling. Kemampuan mengelola ekspektasi terhadap proses homeschooling anak juga perlu diantisipasi. Karena di dalam peluang keberhasilan selalu ada peluang untuk tidak tercapai sebanyak harapan. Akan lebih nyaman lagi kalau bisa bergabung dalam komunitas keluarga praktisi homeschooling agar bisa saling berbagi dan menguatkan.

Ceklist Kesiapan Homeschooling.

Untuk menjawab pertanyaan apakah homeschooling cocok untuk anak-anak dan saya? Saya pilihkan checklist berikut dari situs Rumah Inspirasi yang bisa membantu Moms untuk melakukan asesmen dan refleksi sebelum memutuskan homeschooling.

Apa saja persiapan yang dibutuhkan orang tua untuk menjalani homeschooling?

Kesesuaian :

Apakah Anda memiliki waktu untuk menemani proses anak-anak berkegiatan selama kurang lebih 1-2 jam/hari?
Apakah Anda menikmati kegiatan bersama anak?
Apakah anak Anda menikmati kegiatan bersama Anda?
Apakah Anda senang membaca dan bisa mengajarkan literasi dasar pada anak?
Apakah Anda menguasai matematika dasar dan bisa mengajarkannya pada anak?
Apakah masih mempelajari hal-hal baru dan bersemangat mempelajari ilmu/ keterampilan baru?
Apakah Anda dan anak Anda bisa mengobrol santai bersama?
Apakah Anda memiliki karakter ngotot untuk mencari solusi masalah di lapangan?
Apakah Anda merasa nyaman dan bahagia dengan keseharian Anda?
Apakah Anda dan pasangan memiliki keahlian yang bisa Anda ajarkan pada anak-anak?

PENGAMBILAN KEPUTUSAN :

Apakah Anda sudah membuat daftar pertanyaan pribadi tentang homeschooling?
Apakah Anda sudah mencari dan mendapatkan jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan pribadi Anda?
Apakah Anda memahami peluang homeschooling dan memiliki rencana implementasinya di keluarga Anda?
Apakah Anda memahami risiko homeschooling dan memiliki rencana mitigasi risikonya?
Apakah Anda sudah mendiskusikan dengan anak tentang rencana homeschooling?
Apakah anak mendukung keputusan homeschooling?
Apakah Anda bisa menjawab dan memiliki rencana solusi atas concern dari anak dan pasangan?
Apakah Anda sudah memiliki teman seperjalanan (offline/online) dalam homeschooling?

Catatan:

• Jika ternyata Moms belum mencentang terlalu banyak, mungkin perlu menimbang alternatif pendidikan yang lain untuk anak. Misalnya sekolah alternatif, pesantren, dll.
Homeschooling hanya salah satu pilihan untuk pendidikan anak-anak. Keputusan terbaik adalah memilih yang paling cocok dengan keluarga & anak-anak Anda.

Semoga artikel yang di kumpulkan dari berbagai sumber ini bisa menambah pengetahuan Moms yang tertarik untuk memilih homeschooling bagi anak-anak tercinta. Homeschooling adalah sebuah pilihan, semua kembali pada kemampuan kita untuk menjalani dan juga karakter anak.

Editor & Ilustrasi: Ans

==========================================

Tentang Penulis

Jowvy Kumala

Lulusan Teknik Sipil Universitas Hasanuddin yang nyambi 10 tahun sebagai penyiar di empat radio swasta plus di TVRI stasiun Makassar, di sela-sela waktu kuliahnya. Sempat berkarya sebagai Public Relation di sebuah bank, lalu pindah ke industri Telekomunikasi Seluler berotasi mengisi beberapa departemen dalam divisi Corporate Communication selama 19 tahun. Setelah mengambil pensiun dini tahun 2020, ia serius menjalani passionnya sebagai Instruktur Selam, sekaligus mendampingi putri bungsunya Homeschooling. Menjadi volunteer adalah salah satu ‘kegemaran’nya yang dilakukan untuk menularkan jiwa peduli dan berbagi sebagai fitrah manusia, pada keempat anaknya. Mulai dari aktivitas charity, mengajar, olahraga, survey hingga tanggap bencana sudah pernah dilaluinya. Bergabung dan berkontribusi di SMI tentu memberikan semangat tersendiri baginya untuk bisa belajar sekaligus berkontribusi kepada para Ibu Tunggal se-Indonesia.

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *