“Kalau sudah besar, saya mau jadi pemancing.”
Begitu kata anak saya satu dekade lalu soal cita-citanya, ketika e-sport belum resmi jadi cabang olah raga. Sekarang cita-cita anak saya “mau jadi scriptwriter untuk sebuah game.”
Sebagaimana orang tua pada umumnya, saya khawatir anak saya tidak bisa dapat pekerjaan dan gaji yang layak. Tapi bagaimana kalau ternyata cita-cita anak termasuk yang anti-mainstream, baru dan dicurigai musiman? Ini contohnya, yang pernah jadi bahasan di FB Group Single Moms Indonesia:
- Anakku mau jadi gamer
- Sejak kelas 6 SD cita-citanya jadi atlet sepakbola.
- Kemarin pas gue tanya katanya mau jadi Youtuber
- Mau jadi idol. Kirain bercanda, nggak taunya serius sekarang dia minta les nge-dance.
- Jadi tukang masak
- Mekanik. Sekarang ini senangnya bongkar pasang alat elektronik di rumah.
- Katanya mau jadi biarawan
Kalau anaknya masih kecil, ada kemungkinan ketertarikan itu sementara karena apa yang dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Namun bagaimana jika cita-cita anak tidak kunjung berubah, haruskah kita mengekspresikan kekhawatiran kita?
Ketika melempar pertanyaan ini ke lingkungan sekitar, ada beberapa jawaban yang memiliki benang merah. Intinya adalah apapun cita-cita anak, yang penting mereka melakukannya dengan maksimal dan sungguh-sungguh. Bukan sekedar suka, lalu menyerah setelah gagal di awal. Sebagai orang tua, kita siap memfasilitasi anak belajar atau latihan untuk menggapai cita-cita. Misalnya anak yang mau jadi idol, ya kita tawarkan latihan dance atau menyanyi. Kalau anak mau mencoba jadi Youtuber, kita bisa membukakan akun dan menyediakan fasilitas untuk bikin video. Namun biarkan mereka yang menentukan pilihannya dan mengatur sendiri jadwalnya.
Bagaimana kalau anak menyerah mengejar cita-cita?
Jangan langsung marah. Ajak ngobrol dulu dan temukan apakah mereka bosan atau benar-benar sudah berhenti mengejar mimpinya. Jika anak bosan, coba cari tahu apa yang membuat mereka bosan. Bisa jadi mereka menyerah karena tidak bisa menjadi juara di bidang tersebut, atau karena kesulitan berkembang saat tingkat kesulitan menjadi tinggi. Tapi bisa juga hanya karena mereka sudah bosan dan cita-cita tersebut sudah ‘ketinggalan jaman’.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Journal of Career Assessment pada tahun 2021 menunjukkan bahwa semakin besar usia anak, mereka cenderung semakin realistis dan melihat kenyataan yang ada di dunia pekerjaan. Menurut studi tersebut, hampir separuh dari anak-anak di Amerika Serikat yang disurvei memiliki cita-cita di bidang art, namun hanya 8% yang pada akhirnya masih memiliki impian tersebut di usia remaja. Ketika anak mulai sekolah, mendapatkan eksposur ke berbagai bidang dan melihat nilai yang diraih, pilihan cita-cita semakin mungkin untuk berubah.
Ketika anak menyerah, mungkin mereka menemukan bahwa ‘pekerjaan’ tersebut tidak sesuai ekspektasi dan interest mereka. Seorang Mama menyebutkan bahwa “anak saya ingin jadi Youtuber. Saya belikan kamera untuk bikin video. Setelah sekian lama subscriber dia tidak nambah-nambah akhirnya dia bosan dan menyerah. Sekarang dia ingin jadi dokter.” Salah? Tidak juga. Tapi setidaknya si anak pernah mencoba dan gagal, bukan kita yang membatasi ruang gerak mereka.
Yang pasti, hindari bilang “tuh kan, Mama bilang juga apa.”
Ibu tunggal satu anak berusia 16 tahun. Senang menulis, ngeblog dan jalan-jalan sama anak di waktu senggang lalu posting dengan hastag #datewithdudu. Bergabung dengan SMI di bagian Learning & Development. Follow di instagram: @datewithdudu
Pingback: Selamat Hari Anak Nasional 2017 - Single Moms Indonesia