Apa yang Dibutuhkan Anak ketika Orangtua Bercerai

Perceraian sudah pasti adalah sesuatu yang pelik. Terlebih ketika itu artinya melibatkan anak-anak yang terlahir dari pernikahan. Sebelum bercerai pun, seorang ibu pasti memikirkan bagaimana dampaknya untuk mereka nanti.

Kebutuhan psikologis anak akan sangat meningkat selama dan setelah proses perceraian orangtuanya. Mereka berada di tengah-tengah roller coaster ekonomi dan emosional, mengalami rasa bersalah, ketakutan dan kebingungan. Jika orangtua secara sadar fokus dan peka terhadap kebutuhan anak selama dan setelah perceraian, orangtua akan lebih mampu memenuhi kebutuhan mereka.

“PR” orangtua adalah memenuhi semua kebutuhan ini, untuk meminimalkan harga yang harus dibayar anak karena orangtua tidak dapat mempertahankan hubungan mereka. Apa saja kebutuhan yang sebaiknya menjadi point penting untuk diperhatikan oleh orang tua yang memutuskan untuk bercerai? Inilah beberapa di antaranya:

Apa yang Dibutuhkan Anak ketika Orangtua Bercerai

1. Penerimaan

Hal ini akan menjadi kebutuhan terbesar seorang anak karena konsep dirinya kemungkinan besar masih berada pada tahap rapuh dan formatif, terlebih jika mereka masih kecil. Mereka akan berusaha mendapatkan persetujuan karena rasa memiliki terhadap keluarga telah hancur. Anak-anak juga cenderung mempersonalisasikan sesuatu dan menyalahkan diri sendiri. Jika ibu dan ayah bertengkar lalu bercerai, mereka cenderung mempersonalisasikannya. Mereka berpikir, “Jika saya tidak nakal. Jika saya tidak berisik….” Mereka memerlukan penerimaan. Mereka perlu tahu bahwa mereka penting, bahwa mereka adalah prioritas. Mereka akan berusaha mendapatkan penerimaan karena rasa memiliki terhadap keluarga telah hancur. Di sini lah pentingnya komunikasi terbuka yang menjelaskan kepada mereka bahwa orangtuanya akan berpisah tapi bukan berarti orangtua tidak lagi mencintai mereka.

2. Jaminan Keamanan

Orangtua perlu berupaya meyakinkan anak bahwa meskipun dinamika keluarga berubah, anak akan tetap terlindungi. Kuncinya adalah mempertahankan batasan, dan rutinitas yang normal. Jadi anak juga paham hal-hal apa yang terjadi setelah orangtuanya berpisah. Anak perlu tahu bahwa dunia mereka dapat diprediksi. Contohnya: jika bisa co-parenting anak akan punya jadwal untuk bertemu Ayahnya.

3. Bebas dari Rasa Bersalah

Kadang anak menginternalisasi perpisahan orangtua dan menyalahkan diri mereka. Orangtua harus peka dan bisa menjelaskan pada anak bahwa perpisahan bukan karena kesalahan mereka. Komunikasikan dengan jelas bahwa orangtua akan berpisah (tidak perlu menjalaskan penyebab perceraian karena itu masalah orang dewasa!). 

4. Kebutuhan akan Struktur

Saat semuanya tampak berantakan, anak butuh struktur. Terapkan disiplin secara konsisten dan dengan cara yang tepat. Mereka perlu melihat bahwa dunia terus berputar dan mereka masih menjadi bagian integral dari apa yang terjadi.

5. Orangtua yang Stabil dan Tegar

Suka tidak suka, kita harus tegar di depan anak. Mereka mengkhawatirkan orangtuanya, terutama jika ada krisis yang nyata. Yakinkan anak, bahwa kita tetap stabil, dan dengan melakukan itu, anak bisa rileks. Tunjukkan diri kita sebagai orang yang stabil, punya resiliensi walau pun menjalankan peran sebagai Ibu Tunggal tidak mudah dan kita tangguh.

6. Biarkan Anak Tetap Menjadi Anak

Bukan tugas anak untuk menyembuhkan patah hati kita. Seringkali, anak berperan sebagai pelindung atau penyelamat orangtua yang berada dalam krisis. Mereka tidak perlu berurusan dengan masalah orang dewasa, dan tidak perlu terlibat dalam drama perceraian. Terkadang anak jadi terjebak di tengah-tengah dan menjadi korban saat orangtua tidak bisa menyingkirkan ego dan melibatkan anak dalam konflik juga drama orang dewasa. Tolong, jangan jadikan mereka tempat curhat kita apalagi sampai menjelek-jelekkan mantan suami. Karena semua anak mencintai kedua orangtuanya. 

Ada dua aturan utama yang harus diikuti orangtua, terutama saat keluarga berada dalam kondisi krisis dan ketidakstabilan:

1. Jangan membebani anak dengan situasi yang tidak dapat mereka kendalikan.

Anak-anak tidak seharusnya memikul tanggung jawab seperti dalam situasi orang tua bercerai. Hal ini akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak aman, menyebabkan mereka mempertanyakan kekuatan dan kemampuan mereka sendiri.

2. Jangan minta anak mengurusi masalah orang dewasa.

Anak-anak belum dibekali kemampuan untuk memahami masalah orang dewasa. Fokus mereka harus pada menavigasi berbagai tahapan perkembangan anak yang mereka lalui bukan menyelesaikan masalah orangtuanya.

Jadi sesungguhnya, yang melukai anak-anak itu bukan perceraian tapi bagaimana orangtua meng-handle perpisahan dan gagalnya hubungan. Kalau orangtua bisa tetap dewasa dan bekerjasama, percayalah anak-anak akan baik-baik saja.

Semangat!

Editor & Ilustrator: Ans

Spread the love

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *