Perjalanan untuk pulih bukan sesuatu yang instan. Namanya juga perjalanan. Di satu titik kehidupan, kita pasti pernah merasa kehilangan. Ketika perpisahan terjadi (baik karena kematian ataupun perceraian), kita merasakan kehilangan. Kehilangan suami, kehilangan pasangan hidup, kehilangan status sebagai istri, kehilangan ayah dari anak-anak, dan kehilangan harapan untuk mewujudkan keluarga utuh dan bahagia.
Berduka dan Kehilangan
Andini, 37 tahun, tiba-tiba kehilangan suaminya dalam sebuah kecelakaan sepulang kerja. Mereka sudah menikah selama dua belas tahun dan memiliki tiga orang putra, satu bahkan masih berusia setahun. Andini sama sekali tidak siap dengan kenyataan tersebut karena pagi harinya mereka masih sempat bersenda gurau dan berjanji akan pergi berlibur ke luar kota akhir pekan nanti. Tidak ada firasat atau pertanda apa-apa. Bisa dibayangkan bagaimana kagetnya Andini mendengar kabar kematian suami.
Kini, setahun setelah suaminya meninggal, Andini masih belum benar-benar dapat menerima kepergian sang suami. Ia tenggelam dalam kesedihan yang dalam. Keluarga besarnya turun tangan merawat dan mengasuh anak-anak Andini. Adik dan kakaknya bahu membahu menopang perekonomian Andini dan anak-anaknya karena kondisi Andini belum memungkinkan untuk bekerja. Sehari-hari Andini tidak banyak bicara, cenderung malas berinteraksi bahkan dengan anak-anaknya sekalipun, dan hampir tidak pernah keluar rumah. Tubuhnya kurus dan layu, tatapan matanya kosong. Ia seperti tidak memiliki keinginan untuk melanjutkan hidup. Beberapa kali menolak makan dengan alasan tidak merasakan lapar dan tidur malamnya pun tidak pernah nyenyak. Ayah, ibu, dan saudara-saudaranya sangat mengkhawatirkan keadaan Andini yang tak kunjung pulih.
Di minggu-minggu awal suami Sagita (29 tahun) meninggalkan rumah, Sagita masih menyeduhkan kopi dalam cangkir dan meletakkan di atas meja, setiap pagi dan sore. Dalam benaknya Sagita masih percaya bahwa satu diantara sekian sore dan pagi, akan terdengar gerbang pagar terbuka dan suaminya muncul di pintu depan, duduk meminum kopi seduhan Sagita dan meminta maaf untuk kesalahan-kesalahannya.
Seorang perempuan, mahasiswi di tempat suaminya mengajar, telah memikat hati dan membuat suaminya memutuskan untuk keluar dari rumah. Sagita sudah melakukan segala daya upaya, mulai dari menahan suaminya, dengan alasan anak dan keutuhan rumah tangga, sampai melibatkan keluarga besar agar suaminya sadar. Tak ada upaya yang berhasil. Suaminya tetap bersikeras angkat kaki dan hidup bersama perempuan mahasiswi itu.
Oleh karena itu, sebagai jalan terakhir satu-satunya, Sagita bernegosiasi dengan Tuhan, jika suaminya kembali, ia berjanji akan menyisihkan lebih banyak rejeki untuk membantu anak yatim dan kaum duafa. Namun tiga bulan berselang, tak ada gerbang pagar yang terbuka, justru selembar surat panggilan dari pengadilan agama datang ke alamat Sagita. Suaminya mengajukan gugatan cerai. Sagita begitu terpukul dan murka.
Kehilangan yang dialami Andini dan Sagita adalah satu dari sekian bentuk kehilangan yang kita hadapi dalam hidup ini. Dalam satu masa kehidupan tak jarang kita berhadapan dengan berkali-kali kehilangan. Bentuknya pun bermacam-macam. Namun efeknya kurang lebih membuat kita seperti memiliki lubang di hati yang menggiring pada rasa hampa, putus asa dan tidak berarti.
Ketika kehilangan terjadi, mau tak mau kita berhadapan dengan perubahan. Dalam banyak kasus, perpisahan yang terjadi berada di luar kuasa kita. Pasangan dipanggil Tuhan lebih dahulu, atau sebagai upaya menyelamatkan diri dan anak-anak, misalnya karena kekerasan yang dilakukan pasangan. Apapun penyebab perpisahan, pasti disertai kehilangan. Kehilangan status istri, kehilangan sumber nafkah, kehilangan figur ayah, kehilangan orang dewasa di rumah yang biasanya menjadi tempat curhat dan tukar pikiran.
Fase Penyesuaian Terhadap Kehilangan
Setelah mengalami peristiwa yang menyedihkan dan traumatis seperti kehilangan pasangan, individu melewati beberapa fase sebelum dapat menerima sepenuhnya dan pulih. Seperti yang diilustrasikan melalui Andini dan Sagita, fase pertama yang dilewati adalah rasa terkejut yang amat sangat atau shock dan penyangkalan.
Fase denial adalah ketika Andini dan Sagita sama-sama tidak mempercayai bahwa suami mereka tidak dapat hadir lagi dalam kehidupan mereka. Penyangkalan yang dilakukan Sagita atas realita tersebut adalah dengan membuatkan suaminya secangkir kopi setiap pagi dan sore. Penyangkalan adalah bentuk ketidaksiapan individu terhadap perubahan yang harus dihadapinya. Penyangkalan juga merupakan bentuk harapan terselubung, meski tidak realistis. Penyangkalan umumnya ditunjukkan dengan bersikap pura-pura semua baik-baik saja. Dengan pura-pura bersikap biasa dan baik-baik saja, seperti Sagita yang rutin mengirim sms ‘apa kabar’ ke nomor telpon suaminya meski tak pernah direspon, individu masih ingin mempertahankan kepercayaan bahwa pada akhirnya keadaan akan baik-baik saja.
Penyangkalan dilanjutkan dengan negosiasi atau tawar menawar untuk mencapai kompromi-kompromi tertentu. Fase tawar menawar adalah ketika individu mencoba mencari cara-cara alternatif, termasuk berpegang pada keajaiban dan memohon pada Tuhan, agar keadaan dapat kembali seperti sedia kala. Sagita berjanji akan tetap menerima suaminya dengan tangan terbuka dan tidak mempermasalahkan perselingkuhan suaminya, asalkan suaminya kembali ke rumah. Karena tak satu pun negosiasi yang berhasil, individu lalu diserang rasa marah yang luar biasa. Marah kepada Tuhan karena mengambil pasangan mereka dengan tiba-tiba, marah kepada lingkungan dan keluarga karena tidak memahami perasaan mereka, marah kepada hidup yang dirasa tidak adil, marah kepada pasangan yang meninggalkan mereka begitu saja.
Kemarahan individu di fase ini bisa ditunjukkan dalam bentuk ‘serangan’ kepada orang-orang sekitar, seperti berkata-kata sinis dan kasar, atau sebaliknya individu menjadi amat pasif dan menunjukkan ketidakpedulian sama sekali pada apa yang terjadi di sekitarnya. Perlu dipahami, rasa marah ini sebenarnya adalah bentuk lain dari rasa sakit dan rasa tidak berdaya yang tengah mereka rasakan akibat perpisahan dan kehilangan, atau peristiwa-peristiwa traumatis lainnya. Rasa marah yang dirasakan individu merupakan penanda awal bahwa mereka mulai menyadari adanya peristiwa tidak menyenangkan dan menyakitkan yang tengah mereka hadapi.
Setelah penuh dengan kemarahan dan melihat bahwa tetap tak ada yang berubah dari keadaan dengan kemarahan yang mereka rasakan dan ungkapkan, dalam perjalanan menuju pulih, individu mulai pelan-pelan ‘menyerah’ pada realita yang tengah dihadapi. Sebagian individu masuk ke dalam kondisi tidak berdaya, sebab apapun yang mereka lakukan, toh, tidak mengubah situasi. Andini menolak makan, menolak beraktivitas, membatasi keluar rumah, bahkan tidak lagi berupaya berinteraksi dengan anak-anaknya. Sementara Sagita yang merasa apapun yang dilakukannya tidak membuat suaminya kembali, malah justru ia diceraikan, tenggelam dalam keputusasaan yang dalam.
Andini dan Sagita, jika tidak segera mendapatkan bantuan, rentan untuk masuk ke dalam kondisi depresi. Hasrat untuk hidup tidak ada, tidak ingin menjalani upaya apapun lagi, demi anak sekalipun, dan tidak mampu memikirkan masa depan. Individu pada fase depresi ini kehilangan kepercayaan diri karena merasa apapun yang ia lakukan akhirnya sia-sia, sehingga memilih untuk menyerah saja.
Mencari Bantuan untuk Pulih
Agar tidak berlarut-larut tenggelam dalam ketidakberdayaan, perlu ditempuh langkah-langkah untuk membangkitkan kembali semangat hidup individu. Sebagai seorang ibu, tentunya masih ada anak-anak yang membutuhkan kasih sayang dan tanggung jawab dari mereka. Jangan ragu dan segan untuk mencari bantuan dan dukungan. Baik kepada keluarga, sahabat atau kepada ahli seperti psikiater, psikolog atau konselor. Bergabung dengan komunitas seperti Single Moms Indonesia juga membantu untuk kembali pulih.
Tidak ada resep tunggal atau yang paling jitu untuk mampu bangkit kembali.
Perjalanan untuk pulih kadang panjang, berliku dan penuh jatuh bangun. Namun, jika individu bisa melampaui fase depresi dan menerima kehilangan, rasa sakit, dan trauma yang mereka alami, para individu ini akan mampu mengembangkan perspektif yang lebih luas tentang hidup itu sendiri. Mereka dapat menerima situasi dan keadaan mereka saat ini, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan. Andini, Sagita, dan para ibu tunggal lainnya, mulai berpikir untuk memperkuat finansial mereka. Sebagian ibu tunggal kembali ke bangku sekolah dan kursus, sebagian membuka bisnis, sebagian gencar berinvestasi demi masa depan anak. Fokus mereka adalah masa depan yang lebih baik bagi diri mereka dan anak-anak. Mereka juga pelan-pelan mengembalikan rasa percaya diri dan kembali berinteraksi di tengah masyarakat.
Contributor adalah anggota SMI yang menyumbangkan tulisannya untuk berbagi di blog.