Kalau Janda, Kenapa?

Hidup menjadi janda tentu saja bukan menjadi keinginan wanita di planet bumi ini. Bahkan mungkin tak pernah seorang wanitapun yang ingin bermimpi menjadi janda. Namun jika takdir dan Tuhan sudah berkehendak, sebagai manusia biasa kita bisa apa?

Menjadi Janda

 

Ikhlas dan niatan yang besar untuk terus mensyukuri kenikmatan-kenikmatan yang diberikan Tuhan akan lebih bermakana, dibandingkan harus terus terpuruk dan meratapi kesendirian. Semangat untuk tetap hidup dan berkarya bisa menjadi sumber dan intisari mencari sebuah makna kata bahagia.

Ini adalah tahun ketiga belas kesendirianku. Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat untuk tetap bertahan menjanda. Banyak riak dan gelombang yang mencoba menghancurkan niatku untuk tetap sendiri. Tapi keinginanku untuk sendiri membesarkan anak-anak makin bulat karenanya. Anak-anak yang selalu menjadi semangatku untuk tetap menjadi berharga dan dibutuhkan. Anak-anak yang dengan semua dinamikanya membuatku terus belajar dan belajar sebagai orang tua.

Tigabelas tahun lalu aku memutuskan untuk bercerai.

Berpisah dari lelaki yang sudah jadi pelabuhan cintaku selama duabelas tahun. Darinya aku dipercaya Tuhan memiliki tiga malaikat-malaikat sumber bahagiaku. Anak-anak yang lucu dan cerdas.

Perpisahan yang dilumuri drama penghianatan dan aroma kemunafikan itu akhirnya kupilih. Meski berat, karena dalam keyakinanku perpisahan karena perceraian, merupakan pengingkaran terhadap janji kita pada Tuhan. Akibatnya di mata kebanyakan orang, aku seperti pendosa yang hina. Cemooh dan hujatan kuterima. Aku harus terus menelannya, meski ingin rasanya teriak bahwa ini bukan sepenuhnya mauku. Lalu aku menutup diri dari lingkunganku, menyalahkan diriku sendiri. Rasa percaya diri mulai lenyap dari diriku.

Butuh waktu dua tahun untuk berhenti ngeyel pada Tuhan dan meyakinkan diriku, bahwa aku ini berharga. Bangkit dari semua keterpurukan dan kembali menyusun langkah-langkah untuk masa depanku dan anak-anak. Menumbuhkan lagi kepercayaan untuk tak menyakiti diriku dengan terus menyalahkannya.

Sendiri bukan berarti kesepian. Menjadi janda bukan berarti perempuan yang selalu merasa kesepian seperti, stigma yang tumbuh di masyarakat. Janda bukanlah perempuan genit yang selalu menggoda suami orang. Justru stigma-stigma seperti itulah yang jadi cambuk buatku untuk membuktikan dan membuka mata semua orang, bahwa janda juga manusia bukan untuk selalu dicela dan dihina, atau dijadikan sebagai bahan gurauan tak bermakna.

Meski menjadi janda, I’m happy saat ini.

Karena dari kesendirian ini aku jadi tahu banyak hal. Dari kesendirian ini aku bisa belajar tentang banyak pengalaman baru. Dan dari kesendirian ini aku justru merasa bahwa Tuhan itu adil banget. Untuk menjadikan aku manusia yang lebih baik, Dia justru membiarkanku jatuh, belajar merangkak, lalu berusaha berdiri sendiri untuk bisa trus berlari.

Pada dasarnya setiap orang memiliki kemampuan untuk membahagiakan dirinya sendiri. Bahagia itu bukan karena orang lain atau karena sesuatu yang bisa membuat kita bahagia. Tapi bahagia lebih kepada bagaimana kita mensyukuri apa yang kita miliki. Semua yang kita miliki dan kita rasakan adalah sumber dan penyulut agar kebahagiaan itu bisa kita rasakan. Ada berbagai cara agar kita bisa mengembangkan kemampuan ini, seperti apa yang dulu kulakukan.

Aku selalu mencoba memikirkan hal-hal yang lebih penting. Aku mencari apa saja aspek lain yang dapat membuat kehidupanku layak untuk dijalani. Lalu pikiranku mulai kufokuskan pada hal-hal yang berharga dalam hidupku. Ini bisa jadi me time buatku, memikirkan anak-anak, keluarga dan kesehatan mereka jadi kesibukan sendiri. Kesibukkan ini yang nantinya bisa mengajakku melupakan rasa sendiriku. Kesibukan bisa membuat kita nggak punya waktu untuk melamun, apalagi untuk kembali bersedih-sedih. Bukankah kita punya banyak alasan untuk berbahagia dan bersyukur dengan menyadari apa yang kita miliki?

Kembali mencari bahagia

Aku pernah membaca sebuah artikel di situs tertentu, bahwa rasa syukur sangat erat hubungannya dengan kebahagiaan. Berusahalah mencari satu hal yang membuat kita dapat kembali bahagia setiap hari. Mulai dari apa yang bisa dan senang kita lakukan.

Misal sepertiku, aku senang banget nulis, maka aku curhat pada laptopku dengan membuat puisi ataupun cerpen. Setiap malam ketika aku selesai curhat pada Tuhan, aku belajar menuliskan gelisahku. Tulisan-tulisan yang ada di laptop itu, lama-lama sayang kalau cuma kubiarkan saja. Maka aku mulai berlatih membuat blog. Semua yang kutulis di laptop mulai kutuangkan dalam blog itu. Sekarang tulisan-tulisan itu sebagian sudah jadi beberapa buku antologi. Buku-buku tersebut bisa kujual di kalangan teman-temanku yang suka pada tulisan-tulisanku. Bahagiakan jika karya kita bisa menghasilkan uang.

Setelah aku memutuskan untuk menjanda, aku justru punya banyak waktu luang bersama anak-anak. Ada perasaan berdosa jika harus meninggalkan mereka lama-lama. Mungkin ini akibat dari pencarian kebahagiaanku. Saking deketnya aku dengan anak-anak, aku jadi merasa seperti teman buat mereka. Kami seperti tak berjarak. Seakan nggak ada tuh tembok yang membedakan kasta antara anak dan orang tua. Namun biarpun hubungan kami dekat, mereka tetap bisa sopan kepadaku.

Di kluster lain mereka tetap melihatku sebagai Ibu buat mereka. Kedekatan kami lebih pada nggak ada rahasia antara kita. Aku memaksa diriku sendiri untuk selalu jujur pada mereka, tentang segala hal tentang perasaan, keuangan dan segalanya. Mungkin ini juga yang membuat kami menjadi lebih dekat. Kadang kluster orang tua dan anak itu menjadi pembatas untuk dekat dengan dunia mereka, dan aku nggak mau itu terjadi pada kami.

Dalam kesendirian statusku, aku jadi punya banyak kesempatan untuk mengembangkan diri dan karirku. Nggak ada lagi orang yang akan tersinggung ketika aku harus memiliki jabatan yang lebih baik. Nggak ada lagi yang perlu kukhawatirkan perasaannya ketika aku memiliki gelar  akademik yang lebih tinggi. Aku bisa bergerak sesuai passion yang kumiliki. Aku bahagia dengan hal ini. Sebab hal ini bukan hanya sebagai pengobat keinginanku untuk menghapus stigma buruk janda di masyarakat. Kemampuan dan keberhasilanku ini juga bisa jadi pemicu belajar anak-anakku. Mereka bisa melihat bagaimana ibunya, berjuang untuk mereka tapi tetap gemilang dalam berkarir. Dua keuntungan yang bisa kudapatkan sekaligus, dari kondisi kesendirianku.

Pertanyaannya, apakah semua janda bisa seperti itu, seperti apa yang kulakukan?

Semua kembali lagi pada tujuan terbesar kita dan kesungguhan niat kita. Apakah kita akan membiarkan orang lain berpendapat buruk atau kita akan bergerak menyilaukan mata mereka dengan keberhasilan kita? Semua kembali pada diri kita masing-masing. Balik lagi bahagia bukan oleh karena mereka, tapi kita yang mengusahakannya.

Kadang kita nggak perlu jauh-jauh mencari dimana letak bahagia itu ada. Karena sebenarnya kita cuma cukup memindahkan sudut pandang kita dalam melihat hidup kita. Syukuri semua yang terjadi sebagai berkah dan anugerah Tuhan pada kita. Selalu yakin bahwa Tuhan itu Maha Kuasa, Dia tidak akan membiarkan kita sendirian atau menghukum kita. Tangan Tuhan selalu terbuka untuk melindungi dan mengayomi ciptaan-Nya.

Sendiri bukan lagi jadi bayangan ngeri, tapi bisa jadi energi untuk bangkit dan mandiri.  Hingga suatu hari nanti kita bisa dengan ringan berkata pada semua orang, kalau janda, memang kenapa?


Artikel ini ditulis oleh anggota SMI: @leonardasambas
Spread the love

3 thoughts on “Kalau Janda, Kenapa?

  1. Pingback: Cinta Bunda Sempurna untuk Ibu Tunggal - Single Moms Indonesia

  2. Pingback: Berdaya Atau Tidak, Kita Yang Tentukan - Single Moms Indonesia

  3. Pingback: Belajar Esensi Hidup Lewat Perceraian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *