Berdamai Dengan Masa Lalu

Butuh waktu ya Mbak untuk sampai di titik ini?” tanya seorang member di SMI Facebook Group.

Saya hanya bisa tersenyum dan melihat kembali proses perjalanan emosional juga spiritual saya pribadi untuk bisa berada di sini…di ruang tanpa ada lagi rasa benci, marah, sakit hati dan kepahitan.

Berdamai Dengan Masa Lalu

Perlu diingat, bahwa pada dasarnya proses grieving dan healing setiap orang itu berbeda. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seberapa cepat atau seberapa lama seseorang membutuhkan waktu untuk sembuh dari proses perceraiannya atau proses menjadi single mom.

Berpisah secara baik-baik atau tidak juga akan mempengaruhi proses berdamai dengan masa lalu.

Bagi saya pribadi, butuh waktu sekitar hampir 3 tahun untuk saya berproses dan sampai di titik ini. Sedikit latar belakang, perpisahan saya dengan Pak Mantan awalnya pun penuh dengan drama, amarah, dan emosi. Ya, seperti sinetron lah pokoknya. Perjalanan co-parenting kami juga tidak lantas jadi ideal apalagi di awal-awal. Duh, saya sering sekali marah dan terpancing emosi kalau Pak Mantan tidak melakukan apa yang sudah kami sepakati bersama soal anak contohnya: terlambat memulangkan anak sampai anaknya telat masuk sekolah. Hal yang sebenarnya remeh-temeh dulu bisa bikin emosi jiwa.

Tapi sejak saya banyak belajar mengenai self love, healing, mata jadi terbuka bahwa saya tidak akan pernah bisa mengontrol bagaimana Pak Mantan bereaksi, tidak ada orang lain yang bisa saya kontrol. Satu-satunya yang bisa saya kontrol ya hanya diri sendiri. I can only control me and myself! Kesadaran ini banyak meringankan beban karena hal-hal kecil yang dulunya ganggu banget sekarang bisa dengan santai dihadapi. Saya juga sudah bisa meminggirkan ego dengan banyak belajar bersabar dan mengalihkan fokus bahwa co-parenting ini penting untuk anak. Dengan berpikir “It’s not about me, it’s not about him, it is about the child and what is best for him.

Berdamai Dengan Diri Sendiri

Proses berdamai dengan masa lalu memerlukan juga tahapan untuk berdamai dengan diri sendiri. Selama kita belum benar-benar bisa berdamai dengan diri sendiri, akan sulit untuk bisa berbaik-baik secara tulus dan ikhlas jika bersangkut paut dengan orang-orang dari masa lalu.

Tidak gampang proses perjalanan inward ini karena untuk menghentikan diri secara sadar (concious) menuding Pak Mantan dengan kalimat-kalimat langganan saya pada waktu itu “Kamu yang menghancurkan rumah tangga.” atau “You hurt me!” dan mulai mencari akar permasalahan yang sebenarnya dari kegagalan pernikahan saya itu membutuhkan kesadaran penuh. Consciously deciding that it is time to make peace with myself. Ini berbeda dengan self-blaming alias menyalahkan diri sendiri lho ya. Proses ini ‘memaksa’ saya untuk memeriksa diri saya secara dalam.

Kenapa saya bereaksi seperti ini atau itu? Semua ada sebabnya. Kenapa kadang saya berkomunikasi secara passive aggresive? Karena ketidakmampuan saya untuk berkomunikasi dengan baik. Latar belakang didikan Ibu yang berkomunikasi nyaris 100% passive aggressive ternyata membuat saya secara tidak sadar menyerap pola yang sama. Dulu saya pikir itu tugas dan kewajiban pasangan untuk bikin saya happy. Mungkin dulu saya terlalu banyak nonton film-film Disney jadi dibayangan saya kalau sudah nikah yah pasti otomatis happily ever after. Kenyataannya? Saya belajar bahwa tidaklah adil mengharapkan orang lain untuk membahagiakan saya. I am responsible for my own happiness.

Banyak sekali hasil ‘temuan’ saya setelah benar-benar berkaca dan mengenali diri sendiri. Bersyukur rasanya saya tidak harus menunggu sampai berusia lanjut untuk sampai di titik ini. Menyimpan amarah dan sakit hati yang bisa saja berubah menjadi penyakit kanker nantinya.

Sebagian dari berdamai dengan diri sendiri juga melibatkan proses memaafkan diri kita. Self forgiveness. Saya tidak lagi menyalahkan diri dengan menggunakan kalimat-kalimat negatif seperti “Goblok banget sih lo?!” dan yang lainnya. Saya pelan-pelan bisa memaafkan diri dan memaklumi ketidak mampuan saya dulu untuk menghadapi banyak hal seperti komunikasi dua arah. Istilahnya, ya kalau saya tau pasti saya lakukan dengan jalan yang berbeda (If I know better, I’d do better)

Butuh waktu, perjuangan dan juga air mata tapi untuk menyadari how far I’ve come untuk bisa mencapai titik damai ini, hanya ada perasaan bahagia dan terima kasih untuk Semesta yang tidak pernah meninggalkan saya.

Sudahkah kita berdamai dengan masa lalu?

Spread the love

1 thought on “Berdamai Dengan Masa Lalu

  1. Pingback: Single Moms, Stop Playing Victims! - Single Moms Indonesia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *