Saya menyadari sulitnya membagikan kabar baik ketika dunia tidak sedang baik-baik saja. Padahal positivity ini menular, dan single mom membutuhkannya untuk bangkit dan berdaya.
Bayangkan perjuangan seorang single mom. Selain menghadapi banyak tantangan finansial dan waktu secara internal, juga harus menghadapi stigma negatif di luar sana. Bertemu dengan hal negatif yang bertubi-tubi, tentunya mereka perlu curhat. Perlu ruang aman untuk meluapkan emosi dan pikiran. Sesuatu yang saya pribadi temukan di Komunitas Single Moms Indonesia. Rumah teduh untuk kami, para ibu tunggal, bebas bercerita dan mendapatkan pelukan. Tempat di mana kami tidak merasa sendirian.
Namun ketika semua baik-baik saja, manusia cenderung menyimpannya untuk diri sendiri. Tidak berbagi kabar gembira karena bisa jadi hal baik ini hanya sementara. Untuk apa saya pamer? Bagaimana kalau nanti saya dianggap tidak simpati dengan mereka-mereka yang masih berjuang dan terluka? Dianggap sombong nggak, sih kalau saya cerita bahwa saya sudah bangkit dan berdaya? Sejuta pertanyaan seperti ini lewat di kepala ketika mau curhat hal yang positif. Akhirnya batal cerita.
So, bagaimana menjadi tetap positif di tengah gempuran kabar buruk di luar sana?
Berbagi kabar baik itu bukan pamer.
Setidaknya jika kita memang tidak berniat pamer. Karena yang membedakan apakah cerita positive ini pamer atau menginspirasi adalah tujuan Si Pemilik Kisah. Jika saya ingin orang lain melihat saya hebat, pintar atau mendapatkan tanggapan, “Ih, keren sudah berdaya”. Ya ini berarti saya pamer. Positivity yang dibagikan bertujuan untuk membuat kita terlihat lebih dari orang lain. Namun, jika saya hanya sekedar sharing, ingin bersyukur atas apa yang saya capai tanpa memikirkan reaksi orang lain. Ini adalah berbagi kabar baik.
Sayangnya tidak semua orang mampu memisahkan ini. Karena tujuan kita tidak penting. Hal yang seringkali kita anggap penting adalah reaksi orang lain terhadap kabar baik yang kita berikan. Bagaimana kalau mereka menganggap kita sombong. Mereka tidak suka karena kabar baik yang kita berikan membuat mereka terlihat gagal. Ego mereka terluka. Namanya manusia, pasti ada sisi kompetitifnya. Bisa saja memang kita tidak suka kalah. Yah, daripada diserang netijen, lebih baik saya diam-diam saja.
Lalu sekarang kita kekurangan kabar baik.
Bayangkan membuka group chat dan menemukan banyak curhatan, banyak yang butuh pelukan. Di grup alumni, seorang teman SMA sedang kesulitan uang. Lalu, di grup keluarga ada tante yang sedang sakit. Ketika membuka grup kantor, ada yang kena asam lambung. Lama-lama semua ini bisa mempengaruhi suasana hati kita. Apalagi jika tidak ada kabar baik yang bisa dibaca untuk penyeimbangnya. Kita butuh kabar baik untuk recharge, untuk mengingatkan bahwa dunia masih baik-baik saja. Kalau tidak ada yang mau berbagi, gimana dong?
Ketika ada yang curhat, saya senang membaca follow up-nya juga. Kemarin kesulitan uang, sekarang sudah bisa nabung. Ikut bahagia dengarnya. Berarti telinga yang saya pinjamkan ini berhasil membantunya jadi lega dan akhirnya bangkit. Sayangnya tidak selalu bisa begitu. Bukan berarti saya berhenti spreading positivity sih. Karena saya butuh semangat positif ini agar tetap waras dan tidak terbawa arus negatif yang lewat dalam hidup saya. Soalnya hal negatif di sekeliling kita sering kali bikin kita jadi bad mood juga.
Perasaan bahagia ini menular.
Caranya gimana? Hal positif itu dimulai dari diri sendiri. Percaya bahwa good feeling is contagious. Kalau orang lain tidak berbagi kabar baik, kita saja yang mulai dulu. Ini adalah beberapa hal yang bisa kita lakukan.
- Tersenyum. Salah satu cara membagikan kabar baik adalah dengan tersenyum. Orang yang melihat kita tersenyum, secara tidak langsung mendapat afirmasi bahwa kita sedang bahagia dan dunia masih baik-baik saja. Tersenyum pada orang juga dapat memberikan pesan non-verbal bahwa everything is going to be ok.
- Berikan Pujian. Kita jarang memuji, apalagi ke anak. Sesekali ucapkan “kamu hebat” atau “good job” atas apa yang dicapai oleh orang terdekat. Mungkin ini adalah sesuatu yang mereka butuhkan, namun takut mengutarakan karena khawatir dianggap pamer. Ketika kita memberikan pujian dan ikut gembira, tentunya perasaan ini bisa berkurang.
- Tetap Bersyukur. Jangan biarkan ketakutan dan kekhawatiranmu menghalangi ungkapan syukur. Abaikan yang tidak dapat kita kendalikan, dan fokus akan apa yang bisa kita lakukan. Ungkapan syukur dengan tujuan berbagi tentunya dapat menginspirasi banyak orang.
- Kalimat Penyemangat. Se-simple “semangat ya,” atau “sehat terus,” dapat merubah hari seseorang. Ketika banyak orang menyerap kabar buruk, kalimat penyemangat menjadi langka. Padahal kita semua membutuhkannya ketika sedang down. Bayangkan sedang curhat, bukannya disemangati malah jadi adu nasib. So, say it. You never know who needs it.
- Perspektif Berbeda. Jika kita cenderung memandang dunia dari sisi negatif, mungkin kita perlu seseorang yang bisa melihatnya dari sudut pandang berbeda. Ketika saya sedang mengeluhkan lelahnya menjadi seorang single mom, cerita seorang teman menyadarkan saya. Betapa bahagiannya tidak ada suami dan mertua yang kerap membatasi gerak. Mendapatkan perspektif baru bisa merubah kabar buruk menjadi kabar baik.
Bagaimana memulainya?
Spreading positivity tidak harus ditujukan pada orang tertentu. Bisa juga diunggah sebagai postingan di media sosial. Foto kita sedang tersenyum memang terlihat narsis, tapi ingat bahwa senyuman ini menular. Ketika scrolling Instagram dan melihat bahwa seorang teman tersenyum bahagia dengan anaknya. Saya jadi ikut merasa lega. Oh, dia baik-baik saja. Ubah perspektif kita. Jangan takut untuk menyebarkan kabar baik.
Kita tidak tahu kabar baik kita dapat menolong siapa di luar sana.
Ibu tunggal satu anak berusia 16 tahun. Senang menulis, ngeblog dan jalan-jalan sama anak di waktu senggang lalu posting dengan hastag #datewithdudu. Bergabung dengan SMI di bagian Learning & Development. Follow di instagram: @datewithdudu