Single Moms Indonesia beberapa waktu lalu menggelar lomba menulis cerita ibu tunggal. Lomba Cerita Hari Ibu, yang dilaksanakan di Facebook Group khusus anggota SMI ini, diselenggarakan dengan harapan dapat menginspirasi para single moms di luar sana. Dari puluhan yang ikutan, terpilih lima cerita terbaik yang dimuat di blog SMI. Terima kasih kepada yang telah berpartisipasi. Semoga semua cerita ini dapat menjadi kekuatan bagi semua.
Cerita ibu tunggal Retno I. W.
Perjalanan saya menjadi single mom dimulai sejak September tahun ini. Setelah kepergian ibunda di 2020, kepergian kedua mertua di 2021 dan kepergian suami tersayang di 2022.
Sesungguhnya bisa dibilang kepergian suami menjadi titik balik saya. Bagaimana saya memandang dunia, bagaimana saya menyikapi masalah, bagaimana saya mengolah emosi. Semua itu menjadikan saya seperti manusia baru. Semua itu tentu karena kasih sayang Allah terhadap hambanya sehingga saya bisa berdiri tegak sampai hari ini.
Sampai sekarang saya seolah melewati berbagai fase. Fase di mana saya pernah rindu sekali ke suami. Fase di mana saya seolah dekat sama suami. Fase di mana saya tiba-tiba bisa tenang.
Jika saya demikian bagaimana dengan anak-anak?
Terkadang anak-anak di luar ekspektasi saya, mereka ternyata bisa lebih kuat, tanpa harus melupakan Abi mereka yang sudah pulang duluan. Tentunya kenangan bersama Abinya masih melekat di memori mereka. Anak-anak yang menjadi support utama saya saat ini. Terlihat sekali mereka ingin saya kuat, dan saya pun berusaha ingin memberikan yang terbaik untuk mereka.
Jika Cita-cita saya dan suami sebelumnya itu menua bersama, melihat anak-anak bersama, maka saat ini, cita-cita kami adalah bertemu kembali kelak di surga Allah sebagai satu keluarga utuh.
Sekarang ini saya ingin fokus untuk mencari nafkah dengan menjadi homebakers. Usaha yang sudah ada sebelumnya, saya lanjutkan di kota asal saya. Tentunya banyak sekali tantangan, karena membuka pangsa pasar baru, namun support sistem saya dari keluarga dan sahabat meyakinkan saya jika saya mampu melanjutkan usaha saya itu. Perjalanan pendidikan anak-anak saya masih panjang, saya tak akan putus berdoa dan tentunya akan bekerja keras demi mereka. Semoga Allah mudahkan.
==============================================
Cerita ibu tunggal Sawitri A.
Menjadi seorang single parent dan menyandang status janda karena perceraian bukanlah sebuah status yang bisa dibanggakan. Tetapi aku bangga pada diri sendiri, aku mampu menentukan sikap sebagai bentuk menyelamatkan diri dan anakku termasuk dengan menyelamatkan mentalku. Mungkin orang-orang yang akhirnya mengetahui kisahku, akan mengatakan aku terlambat menentukan sikap. Tapi bagiku lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali.
Tidak ada penyesalan, baik karena aku memutuskan bercerai, ataupun karena aku terlambat mengambil sikap seperti kata mereka. Bagiku, aku melakukan yang terbaik. Bertahun-tahun aku bertahan dengan penghianatan berkali-kali, bersabar tidak menerima nafkah dan bahkan akulah yang membiayai kebutuhan rumah tangga, menerima pelampiasan emosi yang seharusnya tidak ditujukan padaku, menahan rasa sepi ditengah keluarga kecil yang kucintai, di mana aku akan melakukan yang terbaik untuk mereka. Kutelan sendiri semua kekurangan mansu, menjaga kehormatan mansu, sehingga semua mengira aku bahagia menjadi istrinya.
Depresi, ketakutan hingga mati rasa sudah menjadi keseharianku saat itu. Bukannya tidak pernah terlintas untuk mengakhiri hidup atau berselingkuh juga mencari kebahagian dan mengusir sepi, tapi aku sadar sepenuhnya itu tidak benar dan tidak boleh kulakukan.
Sampai di satu titik aku menyerah untuk terus bertahan. Aku berusaha bangkit dengan segala cara yang kuketahui saat itu. Aku yang dulu sering mengurung diri, mulai mencoba keluar, belajar, mengembangkan diri.
Setelah pencarian panjangku, akhirnya qodarullah Allah mempertemukan aku dengan seorang psikolog yang cocok. Kuberanikan diri untuk berproses, menyembuhkan trauma-trauma dari kecil hingga saat itu. Bukan proses yang mudah, berkali-kali “up and down” kulalui. Keyakinanku lah yang tetap membuatku melangkah. Tak apa perlahan, sesuai dengan kemampuanku. Yang kutau, aku harus tetap melangkah.
Dalam prosesku memulihkan luka, aku masih berikhtiar mencoba mempertahankan rumah tanggaku. Tapi ternyata Allah berkehendak lain. Mansu yang selama ini kuharapkan bisa mendampingiku hingga maut memisahkan, tidak dapat berproses dan bersama mencoba menyelamatkan rumah tangga kami. Di ujung perjalanan menuju kepulihanku (17 bulan), di situ pula akhir dari pernikahanku yang sudah 23 tahun. Anakku yang baru mengetahui permasalahan orang tuanya ternyata sangat mendukung kami bercerai. Ternyata banyak sikap-sikap ayahnya yang tidak ia sukai.
Sedih? Mungkin iya, tapi kini aku merasa lebih hidup, walau jalanku kini merupakan babak baru. Berjuang mengantarkan anakku menuju kesuksesannya dan mewujudkan cita citaku yang selama ini sempat tenggelam. Sedihku kini berganti menjadi rasa syukur. Terimakasih ya Allah.
==============================================
Cerita ibu tunggal Cicik R.
“Kamu nggak pengen liburan ke tempat ayah?”
Tanya saya sama Aqila yang sedang asyik main tab-nya. Dia tampak diam sebentar.
“Kata Mama nggak punya duit? Boleh sih, tapi kata Mama kan gak ada duit?”
Giliran saya diam, lalu cek saldo, tagihan dan lainnya. Sisanya, tarik napas dan kembali sibuk ngerjain orderan.
Tahun ini, masuk tahun kelima.
Aqila sudah kelas 5, karena dulu pas pindah ke sini dia di pertengahan TK B. Tidak terasa, time flies so fast. Tingginya, sudah melampaui mamanya. Ukuran sepatunya bahkan sudah lebih dari mamanya. Selama itu, Aqila tidak pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya. Hanya sesekali telpon, itupun harus saya duluan yang menelpon ke ayahnya. Kadang, terbersit rasa bersalah karena perceraian yang terjadi membuat anak jauh dari ayahnya. Namun, saya berusaha menguatkan diri, karena jikalau hidup bersama pun, tidak mesti kami akan merasakan kebahagian dan ketenangan semacam saat ini.
Hidup itu sebuah pilihan. Saya tidak pernah menyesal menikah dan membersamai mantan hingga 6 tahun. Saya juga tidak menyesali sama sekali bahwa pernikahan itu harus kandas setelah perjuangan yang sedemikian rupa. Bagi saya, rumah tangga itu dibangun berdua. Jika dalam perjalan, hanya satu yang mati-matian mempertahankan maka untuk apa diteruskan? Pada akhirnya, semua hal yang telah lewat kini menjadi pembelajaran untuk saya sekarang. Kerikil-kerikil tersebut membuat langkah kaki saya semakin hati-hati saat menginjak tapak baru.
Tahun ini masuk tahun kelima.
Kehidupan kami memang sedang diuji dalam hal financial. Makanya, jatah liburan saya pangkas karena Januari-Februari depan Aqila akan ada study tour dan juga wisuda ngaji. Beberapa kali, sempat terlintas untuk telpon dan minta bantuan mantan tapi saya urungkan. Kalimatnya beberapa tahun lalu masih membekas.
“Kalau nggak bisa ngurus, biar aku yang ngurus anak!”
Lalu, hari-hari berlalu. Kalimat tersebut menjadi mantra agar saya semakin giat bekerja. Sampai di titik ini, hidup kami masih banyak kekurangan, namun saya bersyukur bahwa semua sudah terlewati. Demikian juga dengan hal-hal yang dulu membuat saya begitu rapuh, semua menguap begitu saja.
Saya percaya, bahwa setiap cerita pasti ada awal dan ada akhirnya. Kita, manusia hanya perlu mengikuti prosesnya dengan sabar dan lapang dada, semeleh.
==============================================
Simak cerita ibu tunggal lainnya di sini.
Ibu tunggal satu anak berusia 16 tahun. Senang menulis, ngeblog dan jalan-jalan sama anak di waktu senggang lalu posting dengan hastag #datewithdudu. Bergabung dengan SMI di bagian Learning & Development. Follow di instagram: @datewithdudu
Pingback: Cerita Ibu Tunggal di Hari Ibu [Part 1] - Single Moms Indonesia
I love you mom, anak hebat terbentuk dari orang tua yang kuat big hug sayaaaangg